fsm.undip.ac.id Sebagai negara tropis dengan biodiversitas tanaman obat yang melimpah membuat Indonesia memiliki bahan baku jamu luar biasa. Hal tersebut membuat bangsa Indonesia secara turun temurun terbiasa mengkonsumsi jamu. Namun, faktanya jamu masih minim bukti ilmiah, berbeda dengan herbal yang pemanfaatannya memiliki dasar-dasar ilmiah.
“Jamu adalah bahan alam yang sediaannya masih berupa bentuk aslinya seperti daun, rimpang, batang, dan lainnya. Khasiat dan keamanan jamu baru berdasarkan pengalaman turun temurun, sedangkan herbal sudah memiliki basis pendukung ilmiah”, kata Prof Dr Dra Meiny Suzery MS dalam orasi pertamanya sebagai guru besar bidang kimia organik bahan alam, pada Rapat Terbuka Senat Akademik Universitas Diponegoro (UNDIP), Selasa (25/52021).
Melalui pidato ilmiah berjudul “Model Pengembangan Ilmu Kimia Berbasis Herbal untuk Kesehatan Masyarakat”, Meiny yang meniti karir sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Undip sejak tahun 1989 ini Profesor yang masuk ke Universitas Diponegoro pada 1989 menyampaikan perlunya mengembangkan jamu menjadi obat herbal. Hal ini perlu dilakukan agar kita bisa mampu berkompetisi di pasar global.
“Sepuluh tahun terakhir ini terjadi pertumbuhan substansial di pasar global untuk jamu dan produk herbal. Sayangnya, meski Indonesia kaya keanekaragaman hayati, kita masih menjadi importir bersih produk herbal. impor herbal meningkat sebesar 4% dari tahun 2019 ke 2020. Ini menunjukkan Indonesia diam ditempat tidak berkembang signifikan,” ujar istri dari Dr Bambang Bambang Cahyono MS yang menyelesaikan S1 di Universitas Andalas, S2 di Institut Teknologi Bandung dan S3 di Universitas Diponegoro.
Sebagai peneliti yang konsen terhadap kimia bahan alam, ibu empat anak ini berharap melalui pengembangan herbal, industri herbal Indonesia akan mampu bersaing di tataran global karena berbagai bagian tumbuhan sudah sangat banyak dimanfaatkan di Indonesia. Dia mencontohkan akar (akar wangi), batang (pasak bumi), kulit batang (kayu manis, tumis kucing), rimpang (temulawak, jahe kunyit, bunga (rosela), buah (manggis), maupun yang memanfaatkan keseluruhan tanaman seperti purwoceng.
Namun perempuan kelahiran Padang, 10 Mei 1960, melihat pengembangan obat herbal di Indonesia lebih banyak diarahkan pada penggunaan langsung simplisia atau ekstrak tanaman kepada pasien. Pola pengembangan seperti ini sulit diterima karena kualitas, kuantitas keamanan dan efisiensi obat bahan alam belum sepenuhnya dapat terjamin.
Karena itu dibutuhkan pendekatan atau model yang lebih ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu saya mengembangkan model untuk mendapatkan senyawa aktif dari herbal”, tambah Profesor yang sehari-hari mengampu mata kuliah Kimia Organik Bahan Alam Fitokimia, Kimia Obat Tradisional, dan Desain Riset dan Penulisan Ilmiah ini.
Mengingat pentingnya hasil dari penelitian-penelitian yang dilakukan Prof. Meiny, banyak laboratorium industri jamu dan herbal yang memberikan dukungan dengan membuka pemanfaatan laboratorium skala besar yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut bagi penelitian yang dilakukannya. Di Jawa Tengah memang banyak berdiri beragam industri jamu dan herbal skala besar, dan mereka sangat berkepentingan pada produk-produk hasil penelitian profesor yang datang ke Semarang karena dibawa tambatan hatinya.
Secara rinci, model yang dikembangkan di antaranya menggunakan Hyptis pectinata untuk diambil sumber senyawa kimianya. Pemilihan tanaman ini karena banyak tumbuh di Indonesia yang beriklim tropis sehingga mudah dikoleksi. Model pengembangan ekstraksi dan isolasi senyawa Hiptolida pada Hyptis pectinata poit adalah ekstraksi, pemisahan, pemurnian dan penentuan struktur molekul. Hasilnya berupa isolasi senyawa murni berbentuk jarum sebanyak 1,7%. Ini dapat digunakan sebagai standar sekunder dalam menentukan banyaknya senyawa bioaktif dalam menentukan tahap yang sangat krusial dalam pengembangan obat tradisional, sedangkan senyawa murni adalah dasar pengembangan obat modern yang berasal dari bahan alami herbal.
Keseluruhan proses penting untuk dilihat sebagai upaya meningkatkan kualitas herbal yang telah diketahui aktivitasnya. Dari penelitian diketahui bahwa senyawa hiptolida yang merupakan mayor komponen tanaman Hyptis pectinata diduga memiliki fungsi antikanker, karena mengikat memiliki cincin lakton yang diketahui mampu mengikat protein.
Adapun titik tolak pengembangan model ini adalah molekul organik yang diisolasi dari suatu bahan yang sangat bertanggung jawab terhadap aktivitas biologis. Dengan melihat jenis gugus fungsi molekul organik dan interaksinya dengan gugus lain pada reseptor target, besar molekul dan stereokimianya; kegunaan dari bahan herbal tersebut dapat diprediksi.
Pengetahuan untuk menghasilkan senyawa baru harus dipandang sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas herbal yang telah diketahui aktivitasnya. Model pengembangan ilmu kimia berbasis herbal seperti ini perlu terus dilakukan dan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pengembangan obat herbal di Indonesia. (SPA)